Dalam setiap transformasi sosial yang terjadi dimasyarakat dibutuhkan seorang pemikir yang dapat menggerakkannya. Para pemikir yang mempunyai ide masing-masing, tidak hanya mampu melontarkan ide-ide bagi transformasi juga mampu mensosialisasikan buah pikirannya tersebut kepada masyarakat. Kita sebagai mahasiswa yang mengklaim diri sebagai kaum intetelektual sepantasnya untuk berfikir bagaimana melakukan transformasi diri serta transformasi sosial menuju kearah yang jauh lebih baik. Untuk mencapai hal tersebut kita harus menghindari berbagai kesalahan berfikir yang mengakibatkan gagalnya kita dalam berfikir. Berikut kesalahan berfikir tersebut.
Kesalahan-Kesalahan Berpikir
1. Fallacy of Dramatic Instance berawal dari kecenderungan orang untuk melakukan apa yang dikenal dengan over-generalisation. Yaitu, penggunaan satu-dua kasus untuk mendukung argumen yang bersifat general atau umum. Seringkali kesimpulan itu merujuk pada pengalaman pribadi seseorang.
Contoh dari kesalahan berpikir ini adalah rahmat seorang mahasiswa dan mempunyai kecerdasan yang sangat minim, orang yang mengalami kesalahan berfikir ini akan langsung mengambil kesimpulan bahwa setiap mahasiswa mempunyai kecerdasan yang minim.
Itulah akibat dari over-generalisation dari sebuah pengalaman pribadi terhadap kasus-kasus yang lebih luas cakupannya.
2. Fallacy of Retrospective Determinism atau dapat dijelaskan sebagai kebiasaan masyarakat yang menganggap masalah sosial yang sekarang terjadi sebagai sesuatu yang secara historis memang selalu ada, tidak bisa dihindari, dan merupakan akibat dari sejarah yang cukup panjang. Cara berpikir nin selalu mengacu pada “kembali ke belakang” atau “historis”. Atau secara jelasnya disebutkan sebagai upaya kembali pada sesuatu yang seakan-akan sudah ditentukan dalam sejarah masa lalu.
Contohnya adalah kemiskinan. Orang menganggap bahwa kemiskinan adalah bagian dari isi sejarah. Dari dulu ada orang kaya dan miskin. Mengapa orang sekarang harus meributkan pemberantassan kemiskinan. Padahal kemiskinan tidak bisa diberantas, karena sudah ada sejak dulu.
3. Post Hoc Ergo Propter Hoc atau sesudah itu- karena itu- oleh sebab itu. Bila ada peristiwa yang terjadi dalam urutan temporal, maka dapat dinyatakan bahwa yang pertama adalah sebab dari yang kedua.
Sebagai contoh, ada orang tua yang lebih cinta pada seorang anaknya dibanding anaknya yang lain hanya karena ia kebetulan naik pangkat atau ekonominya menjadi stabil setelah mendapat anak kesayangannya itu.
4. Fallacy of Misplaced Concretness adalah kesalahan berpikir yang muncul karena kita mengkonkretkan sesuatu yang sebenarnya adalah abstrak. Atau dapat dikatakan sebagai menganggap real seuatu yang sebetulnya hanya ada dalam pikiran kita.
5. Argumentum ad Verecundiam ialah berargumen dengan menggunakan otoritas, walaupun otoritas itu tidak relevan atau ambigu.
Ada beberapa orang yang menggunakan otoritas untuk membela paham dan kepentingannya sendiri. Misalnya dari suatu peristiwa dalam perjalanan Nabi, ia bermaksud membenarkan paham dan kepentingannya sendiri. Padahal peristiwa tersebut belum tentu relevan dengan masalah atau tema yang sedang diperbincangkan.
6. Fallacy of Composition adalah dugaan bahwa terapi yang berhasil untuk satu orang pasti juga berhasil untuk semua orang.
Sebagai contoh, di suatu kampung ada yang memelihara ayam. Ayam petelur negeri itu berhasil mendatangkan uang banyak bagi pemiliknya. Melihat itu, dengan serta-merta penduduk kampung menjual sawahnya untuk dijadikan modal bisnis ayam petelur. Akibatnya, semua penduduk kampung itu bangkrut lantaran merosotnya permintaan dan membanjirnya pasokan barang.
7. Circular Rasioning artinya pemikiran yang berputar-putar, menggunakan kesimpulan untuk mendukung asumsi yang digunakan lagi untuk menuju kesimpulan semula.
Sedangkan mitos, penulis membahas dua jenis mitos, yaitu:
a. Mitos Deviant
Mitos ini berawal dari pandangan bahwa masyarakat itu stabil, statis, dan tidak berubah-ubah. Kalaupun terjadi perubahan, maka perubahan itu adalah penyimpangan dari sesuatu yang stabil. Mitos ini berkembang dari teori ilmu sosial yang disebut structural functionalism (fungsionalisme struktual). Menurut teori ini, kalau mau melihat perubahan sosial, kita harus mau melihat struktur dan fungsi masyarakat. Jadi kalau ada dinamika sosial, maka harus ada statistika sosial.
Analisis fungsional bisa dilakukan, misalnya dalam memandang persoalan kemiskinan. Kemiskinan meskipun ia tidak diinginkan, namun secara fungsional tetap diperlukan. Orang miskin diperlukan untuk melakukan pekerjaan2 berbahaya yang tak mungkin dilakukan orang kaya, orang miskin memberikan pekerjaan kpd LSM yang meneliti prospek kemiskinan di suatu negara, dll.
Jika analisis fungsional ini terus menerus dilakukan dan dijadikan rujukan, kita bisa menjadi pro status quo. Kita melihat perubahan tidak lagi sesuatu yang diharapkan. Misalnya pelacuran, akan dianggap memiliki fungsi untuk mencegah suami-suami yang akan berpoligami.
b. Mitos Trauma
Perubahan mau tidak mau menimbulkan reaksi. Bisa berbentuk krisis emosional dan stress mental. Perubahan juga berpotensi menimbulkan disintegrasi pada awalnya. Bisa berbetuk disintegrasi sosial dan disintegrasi individual.
Misalnya : ada teori yang dinamakan Cultural Lag (kesenjangan kebudayaan). Perubahan yang terjadi disuatu tempat belum tentu terjadi di tempat lain pada waktu yang bersamaaan. Dan apabila kedua ini bersatu, berpotensi menimbulkan “kegamangan”.
Contoh : sebuah perusahaan yang telah dilengkapi peralatan komputer canggih, namun karyawan2nya tidak mau atau belum belajar mengoperasikannya. Walhasil, komputer hanya menjadi pajangan untuk memperlihatkan “kelas” dari perusahaan tersebut.
Perubahan sosial juga berpotensi menimbulkan krisis. Orang yang tidak siap dengan perubahan cenderung bersikap antipati terhadap perubahan. Orang menolak perubahan biasanya disebabkan karena basic security nya terancam. Jadi, ia merasa lebih nyaman dengan keadaan yang lama. Sikap antipati ini membuat orang menciptakan defensive mechanism. Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa perubahan sosial juga mendatangkan masalah sosial baru.
Perubahan sosial juga berpotensi menimbulkan krisis. Orang yang tidak siap dengan perubahan, yakni golongan orang yang sudah merasa nyaman dengan kondisinya saat ini cenderung bersikap antipati terhadap perubahan. Sikap antipati ini membuat orang menciptakan defensive mechanism. Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa perubahan sosial juga mendatangkan masalah sosial baru.
Selanjutnya penulis mengungkapkan makna dari rekayasa sosial yang sebenarnya dapat dengan mudah kita temukan dikehidupan sehari-hari.
Kesalahan-Kesalahan Berpikir
1. Fallacy of Dramatic Instance berawal dari kecenderungan orang untuk melakukan apa yang dikenal dengan over-generalisation. Yaitu, penggunaan satu-dua kasus untuk mendukung argumen yang bersifat general atau umum. Seringkali kesimpulan itu merujuk pada pengalaman pribadi seseorang.
Contoh dari kesalahan berpikir ini adalah rahmat seorang mahasiswa dan mempunyai kecerdasan yang sangat minim, orang yang mengalami kesalahan berfikir ini akan langsung mengambil kesimpulan bahwa setiap mahasiswa mempunyai kecerdasan yang minim.
Itulah akibat dari over-generalisation dari sebuah pengalaman pribadi terhadap kasus-kasus yang lebih luas cakupannya.
2. Fallacy of Retrospective Determinism atau dapat dijelaskan sebagai kebiasaan masyarakat yang menganggap masalah sosial yang sekarang terjadi sebagai sesuatu yang secara historis memang selalu ada, tidak bisa dihindari, dan merupakan akibat dari sejarah yang cukup panjang. Cara berpikir nin selalu mengacu pada “kembali ke belakang” atau “historis”. Atau secara jelasnya disebutkan sebagai upaya kembali pada sesuatu yang seakan-akan sudah ditentukan dalam sejarah masa lalu.
Contohnya adalah kemiskinan. Orang menganggap bahwa kemiskinan adalah bagian dari isi sejarah. Dari dulu ada orang kaya dan miskin. Mengapa orang sekarang harus meributkan pemberantassan kemiskinan. Padahal kemiskinan tidak bisa diberantas, karena sudah ada sejak dulu.
3. Post Hoc Ergo Propter Hoc atau sesudah itu- karena itu- oleh sebab itu. Bila ada peristiwa yang terjadi dalam urutan temporal, maka dapat dinyatakan bahwa yang pertama adalah sebab dari yang kedua.
Sebagai contoh, ada orang tua yang lebih cinta pada seorang anaknya dibanding anaknya yang lain hanya karena ia kebetulan naik pangkat atau ekonominya menjadi stabil setelah mendapat anak kesayangannya itu.
4. Fallacy of Misplaced Concretness adalah kesalahan berpikir yang muncul karena kita mengkonkretkan sesuatu yang sebenarnya adalah abstrak. Atau dapat dikatakan sebagai menganggap real seuatu yang sebetulnya hanya ada dalam pikiran kita.
5. Argumentum ad Verecundiam ialah berargumen dengan menggunakan otoritas, walaupun otoritas itu tidak relevan atau ambigu.
Ada beberapa orang yang menggunakan otoritas untuk membela paham dan kepentingannya sendiri. Misalnya dari suatu peristiwa dalam perjalanan Nabi, ia bermaksud membenarkan paham dan kepentingannya sendiri. Padahal peristiwa tersebut belum tentu relevan dengan masalah atau tema yang sedang diperbincangkan.
6. Fallacy of Composition adalah dugaan bahwa terapi yang berhasil untuk satu orang pasti juga berhasil untuk semua orang.
Sebagai contoh, di suatu kampung ada yang memelihara ayam. Ayam petelur negeri itu berhasil mendatangkan uang banyak bagi pemiliknya. Melihat itu, dengan serta-merta penduduk kampung menjual sawahnya untuk dijadikan modal bisnis ayam petelur. Akibatnya, semua penduduk kampung itu bangkrut lantaran merosotnya permintaan dan membanjirnya pasokan barang.
7. Circular Rasioning artinya pemikiran yang berputar-putar, menggunakan kesimpulan untuk mendukung asumsi yang digunakan lagi untuk menuju kesimpulan semula.
Sedangkan mitos, penulis membahas dua jenis mitos, yaitu:
a. Mitos Deviant
Mitos ini berawal dari pandangan bahwa masyarakat itu stabil, statis, dan tidak berubah-ubah. Kalaupun terjadi perubahan, maka perubahan itu adalah penyimpangan dari sesuatu yang stabil. Mitos ini berkembang dari teori ilmu sosial yang disebut structural functionalism (fungsionalisme struktual). Menurut teori ini, kalau mau melihat perubahan sosial, kita harus mau melihat struktur dan fungsi masyarakat. Jadi kalau ada dinamika sosial, maka harus ada statistika sosial.
Analisis fungsional bisa dilakukan, misalnya dalam memandang persoalan kemiskinan. Kemiskinan meskipun ia tidak diinginkan, namun secara fungsional tetap diperlukan. Orang miskin diperlukan untuk melakukan pekerjaan2 berbahaya yang tak mungkin dilakukan orang kaya, orang miskin memberikan pekerjaan kpd LSM yang meneliti prospek kemiskinan di suatu negara, dll.
Jika analisis fungsional ini terus menerus dilakukan dan dijadikan rujukan, kita bisa menjadi pro status quo. Kita melihat perubahan tidak lagi sesuatu yang diharapkan. Misalnya pelacuran, akan dianggap memiliki fungsi untuk mencegah suami-suami yang akan berpoligami.
b. Mitos Trauma
Perubahan mau tidak mau menimbulkan reaksi. Bisa berbentuk krisis emosional dan stress mental. Perubahan juga berpotensi menimbulkan disintegrasi pada awalnya. Bisa berbetuk disintegrasi sosial dan disintegrasi individual.
Misalnya : ada teori yang dinamakan Cultural Lag (kesenjangan kebudayaan). Perubahan yang terjadi disuatu tempat belum tentu terjadi di tempat lain pada waktu yang bersamaaan. Dan apabila kedua ini bersatu, berpotensi menimbulkan “kegamangan”.
Contoh : sebuah perusahaan yang telah dilengkapi peralatan komputer canggih, namun karyawan2nya tidak mau atau belum belajar mengoperasikannya. Walhasil, komputer hanya menjadi pajangan untuk memperlihatkan “kelas” dari perusahaan tersebut.
Perubahan sosial juga berpotensi menimbulkan krisis. Orang yang tidak siap dengan perubahan cenderung bersikap antipati terhadap perubahan. Orang menolak perubahan biasanya disebabkan karena basic security nya terancam. Jadi, ia merasa lebih nyaman dengan keadaan yang lama. Sikap antipati ini membuat orang menciptakan defensive mechanism. Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa perubahan sosial juga mendatangkan masalah sosial baru.
Perubahan sosial juga berpotensi menimbulkan krisis. Orang yang tidak siap dengan perubahan, yakni golongan orang yang sudah merasa nyaman dengan kondisinya saat ini cenderung bersikap antipati terhadap perubahan. Sikap antipati ini membuat orang menciptakan defensive mechanism. Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa perubahan sosial juga mendatangkan masalah sosial baru.
Selanjutnya penulis mengungkapkan makna dari rekayasa sosial yang sebenarnya dapat dengan mudah kita temukan dikehidupan sehari-hari.